Kesadaran Diri Terletak Pada Akal dan Hati

Tidak jarang, kita tidak mau bahkan enggan menerima seseorang sebagai kerabat kita dikarenakan keburukannya. Tentu, dalam lingkup masyarakat juga meresahkan hal ini, apalagi sampai merugikan orang lain. Yang menjadi pertanyaan adalah, Apakah ada manusia yang sempurna di dunia fana ini? Bukankah dunia hanyalah ombang-ambing bagi manusia, pilihan setiap harapan manusia pada jalan yang mana mereka memilih. Didunia ini tidak ada manusia yang benar-benar bersih dari dosa, semua dan setiap manusia pernah melakukan perbuatan dosa, baik dosa kecil maupun besar. Akan tetapi setiap manusia memiliki kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik, menyesali apa saja yang telah diperbuat dan ampunan Allah Swt sangatlah luas.

Sering kali kita mendengar, menemukan berbagai versi atas persepsi seseorang yang hanya terpaut pada sisi penilaian luar atau bisa disebut (cover), sesuatu yang terlihat itulah yang kemudian tersimpulkan dari kepribadiannya. Kemampuan indera sangatlah terbatas, dan tidak jarang kita terkecoh dengan sudut pandang negatif yang membawa pada suatu perkara kurangnya kesadaran diri. Yang mana dalam hal ini akan melahirkan sebuah kebencian bahkan fitnah. Justru dengan mensifati atau menjustifikasi permasalahan orang lain juga bukan perkara yang baik. Apalagi sampai merasa diri yang paling benar, diri yang paling hebat niscaya kesombongan dan keangkuhan yang kian menggerogoti hati. 

Manusia merupakan makhluk dinamis tidak statis. Yang terlihat sholeh dan alim tidak selamanya demikian, sebaliknya yang terlihat buruk, urakan, hina itu pula tidak selamanya demikian. Berdasarkan kehendak masing-masing dalam menapaki kehidupan. 

Allah Swt dengan firman-Nya didalam Al-Qur’an surat Az-Zumar Ayat 53

قُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ

yang artinya: “Katakanlah, wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari Rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh Dialah yang Maha Pengampun, Maha Penyayang”.

Mengaca pada salah satu tokoh sufi, “Jalaluddin Rumi” Beliau mengisyaratkan bahwa berprasangkan baik kepada Tuhan adalah modal utama untuk datang dan mendekat kepada-Nya. Mengapa demikian? Sebab Tuhan menciptakan manusia dengan cinta dan bagaimana jika manusia berprasangka baik kepada-Nya juga sekaligus memahami bahwa setiap peristiwa itu dipenuhi sejuta hikmah, maka derita hidup tiada rasa. 

Oleh karena itulah, siapa saja yang belum mampu berlari untuk memenuhi upaya menemui ampunan-Nya, maka dengan cara merangkak untuk melakukan sebuah pertaubatan. Allah tidak melihat bagaimana umat-Nya berlari cepat sampai terbirit-birit melainkan Allah melihat bagaimana ia membangun komitmennya untuk memenuhi panggilan-Nya dan kembali kepada-Nya. 

Mengambil hikmah dari peristiwa perbuatan dosa dan bermaksiat kepada-Nya adalah perihal yang pasti pernah dilakukan oleh setiap manusia. Dan sebaik-baik manusia adalah mereka yang mau mentas dan bertaubat, terus-menerus berharap ampunan-Nya.

Oleh : Ira Rd (Mhs Tasawuf Psikoterapi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.