Mengingat Allah SWT Tanpa Menyekutukan-Nya

Mengingat Allah SWT dengan membasahi lisan dalam mengucapkan Asma-Nya sama dengan dzikir. Dzikir merupakan salah satu ibadah yang mudah. Bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun. Sebagai seorang muslim, pastinya sudah tidak asing lagi dengan ibadah yang satu ini. Dimana seorang hamba berusaha menyebut serta mengingat Allah SWT untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Ibadah yang ringan dan mempunyai banyak fadhilah. Sebagaimana yang telah di jelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Anfal : 45.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَٱثْبُتُوا۟ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu pasukan (musuh), maka berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allah banyak-banyak (berzikir dan berdoa) agar kamu beruntung.”

Keberuntungan tersebut tentunya akan bisa dirasakan atau diperoleh apabila dalam berdzikir terdapat kesungguhan. Dzikir yang semata-mata karena Allah SWT dan tiada sekutu dalam berdzikir.

Para ulama pun sepakat mengenai beberapa tingkatan dalam dzikir, diantaranya:

1. Dzikir yang lupa kepada Allah SWT.

Ini menggambarkan seseorang dalam lisannya mengucapkan kalimat tayyibah. Akan tetapi ia tidak memahami apa yang sedang diucap, begitu juga hatinya tidak bisa merasakan apa yang telah diucapkan.

2. Dzikir yang ingat kepada Allah SWT.

Keadaan seseorang ketika berdzikir, ia menyadari apa yang sedang diucapkan. Namun pikiran nya masih terfokus pada urusan dunia. Sehingga hatinya belum bisa ikut mengingat Allah SWT.

3. Dzikir yang ingat kepada Allah SWT dan hatinya menyadari kalau dirinya menghadap kepada Allah SWT.

Ketika lisan dan hati mengingat Allah SWT secara bersamaan. Hati berusaha untuk merasakan kedekatan dengan Allah. Akan tetapi dalam keadaan ini seseorang masih juga memikirkan dunia. Seperti halnya mengharapkan manfaat dzikir yang sedang dilakukannya.

4. Dzikir yang disertai dengan sirnanya diri

Ketika berdzikir ia tidak ingat apa-apa, tidak ingat dimana, tidak ingat apa yang diucapkannya. Ingatannya hanya tertuju pada Allah SWT semata. Hal ini keadaan seseorang telah bertauhid dalam berdzikir. Dzikir yang keempat inilah sebenar-benarnya dzikir. Dalam pelaksanaan nya tidak ada sekutu, fokusnya semata-mata hanya tertuju pada Ridha Allah SWT.

Sekutu yang dimaksud ialah segala hal yang menjadi penghalang bagi seseorang untuk mengingat Allah SWT (ingat selain Allah SWT). Para ulama menyepakati segala hal yang disekutukan oleh seseorang dalam berdzikir, akan menyebabkan terputusnya percepatan proses dzikir kepada-Nya. Kedekatan seorang hamba kepada Allah SWT tanpa ada sekutu dalam berdzikir akan mempermudah menyingkap hijab dalam hati.

Sehingga seseorang harus belajar bagaimana agar ketika berdzikir, tiada yang lain semata-mata untuk menggapai ridha-Nya. Sehingga akan mempercepat tersingkapnya hijab dalam hati. Ketika hijab dalam hati telah tersingkap, segala manfaat dzikir atau fadhilah dzikir tanpa diharapkan akan datang dengan sendirinya. Ketenangan, kelapangan atas segala kebutuhan, juga diselesaikan segala masalahnya sebagaimana manfaat dzikir akan diperoleh. Sebab Allah SWT tidak pernah mengingkari janji-Nya.

Dari penjelasan tersebut, kita bisa mulai belajar menerapkan dzikir. Dzikir dapat kita kerjakan dalam keadaan berdiri, duduk bahkan berbaring. Dalam keadaan sedih ataupun senang, juga dalam situasi seperti saat ini. Dimana seluruh umat Islam di dunia sedang di uji dengan adanya pandemi Covid-19. Perlu sekali dirasa dzikir diterapkan agar hati dan pikiran dapat tenang dalam kondisi seperti ini.

oleh : N. A. Fatekah (Mahasiswa Prodi Tasawuf dan Psikoterapi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.