Melacak Tarekat Syatariah di Banten, Sebuah Asumsi Awal

Oleh: Jemmy Ibnu Suardi. M.Pd.I

Peneliti Mercusuar Institute

Email: jemmyibnusuardi@gmail.com

Peran Tarekat dalam perjalanan panjang Kesultanan Banten, adalah sebuah diskursus yang menarik. Banten dikenal sebagai salah satu destinasi Islam dengan khazanah keilmuan yang tinggi di Nusantara. Sampai saat inipun tradisi keilmuan tasawuf masih cukup banyak digandrungi oleh sebagian masyarakat Banten kontemporer. Meskipun terkesan ortodoks, pengamal tasawuf di Banten relatif damai-damai saja, tidak ada friksi yang cukup berarti, yang terjadi antara pengamal tasawuf dan pengamal fikih, seperti diketahui dalam sejarah peradaban Islam di Nusantara, ulama dan murid pengamal tasawuf acapkali bentrok dengan ulama dan murid pengamal fikih. Hal ini adalah sebuah fenomena yang menarik, hal itu tidak terjadi di Banten.

Sartono Kartodirjo dalam bukunya The Peasants’ Revolt of Banten in 1888: Its Conditions, Course and Sequel, menyebut peran tarekat di Banten benar-benar sangat kuat. Tarekat menjadi lembaga keagamaan yang menolak kehadiran kolonialisme Barat. Sikap anti Belanda seperti digambarkan Sartono sebagai bentuk perlawanan yang ekstrim bahkan sampai menggunakan kekerasan untuk melawan kekuasaan Belanda, juga menentang dan membenci orang Islam yang berkolaborasi dengan Belanda.

Sartono menyebut, mula-mula ajaran tasawuf di Nusantara hadir pada abad ke-16, kemudian berkembang dan menyebar mula-mula dari Aceh, oleh Syeikh Abdurrauf Singkil, kemudian di Jawa dikembangkan oleh muridnya Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan. Bahkan menurut Sartono, diskursus Wujudiyah yang kemudian juga populer di Banten dibawa langsung oleh Syeikh Hamzah Al Fansuri, yang pernah mengembara ke Banten.

Dalam interpretasi Sartono, tarekat Syatariah dan tarekat Qadariyah adalah tarekat yang mahsyur dan banyak digandrungi di Banten, khususnya lingkaran dalam Istana Kesultanan Banten. Sartono membuktikan misalnya, Sultan Banten pertama yang diberikan legitimasi gelar Sultan dari Khalifah Turki Utsmani, bernama Sultan Abdul Mafakhir Abdul Qadir, nama yang identik ini, jelas merujuk kepada pendiri tarekat Qadariyah, Syeikh Abdul Qadir. Djajadiningrat juga menyebut nama seorang pedagang yang besar yang populer di Banten, bernama Haji Dulkadir, akrab dipanggil “Juragan Qadiriyah.”

Martin Van Bruinessens dalam makalahnya yang berjudul Shari’a Court, Tarekat and Pesantren, menyebut bahwa Maulana Hasanuddin, Raja pertama Kesultanan Banten sebagai penganut tarekat Syatariah. Asumsi ini diuraikan oleh Bruinessens pada saat zaman Maulana Hassanudin, tarekat yang berkembang dan populer di Nusantara dan dunia Islam, pada umumnya adalah tarekat Syatariah yang dikembangkan oleh Syeikh Ahmad Shinnawi (wafat 1619 masehi) dan dilanjutkan oleh muridnya yakni, Syeikh Ahmad Al Qushasi (wafat 1691 masehi) yang berpusat di Madinah. Syeikh Ahmad Shinawi sendiri ketika singgah di Istanbul, ibukota Khilafah Ustmaniyah tahun 1548, dijadikan kesempatan oleh Khalifah Turki Ustmani, Sulaiman Al Qanuni untuk memperdalam ilmu tasawuf dan kemudian masuk kedalam tarekat Syatariyah yang dibawa Syeikh Ahmad Shinawi.

Syeikh Yusuf Al Makasari yang datang ke Banten, menurut Bruinessens juga belajar ilmu tasawuf kepada Syeikh Ibrahim Al Kurani murid Syeikh Ahmad Al Qushasi. Syeikh Yusuf sebagaimana umumnya dikenal sebagai ulama sufi di zamannya memiliki ijazah tarekat lebih dari satu. Selain dikenal sebagai ulama tarekat Khalwatiyah, Syeikh Yusuf juga memiliki otoritas atas ijazah tarekat Syatariah. Syeikh Yusuf menjadi tokoh penting bagi tersebarnya tarekat-tarekat di Banten. Mengingat posisinya sebagai Mufti Ulama Kesultanan Banten, sekaligus menantu Sultan Ageng Tirtayasa.

Tommy Christomy dalam makalahnya yang berjudul Ta’lif Shaykhuna al Shaykh Haji Ábdullah Ibn Abdul Qahhar al Shattari al Bantani, pasca mangkatnya Sultan Ageng Tirtayasa dan diasingkanya Syeikh Yusuf ke Afrika, menyebut tarekat Syatariah tidak lagi populer di Banten, seperti disebut Bruinessen, “Rupanya tidak ada seorangpun di Banten, juga di istana, yang meneruskan tarekat ini. Murid yang hidup sezamannya, Sultan Haji, telah menganggapnya sebagai lawan politik.” Padahal Sultan Haji, dalam bukunya Titiek Pudiastuti berjudul Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, menyebut Sultan Haji sebagai pengamal tarekat Syatariah yang taat. Konflik politik telah membuat seorang anak durhaka pada orang tua dan guru sekaligus.

Dalam waktu yang cukup lama, selepas Sultan Haji berseteru dengan ayahnya Sultan Ageng Tirtayasa dan gurunya Syeikh Yusuf al Makassari, praktis tarekat Syatariah tidak menjadi mazhab tarekat keluarga istana. Hingga sampai pada masa Sultan Abu Nasr Zainal Àsyiqin (1753-1757), tarekat Syatariyah kembali mempunyai tempat di Kesultanan Banten, khususnya lingkungan istana.

Adalah Syeikh Abdullah Ibn Abdul Qahhar seorang ulama Banten keturunan Arab, mulai mengembang lagi tarekat Syatariah di Banten. Bahkan didapati sanad keilmuan tasawuf tarekat Syatariah yang dibawa Syeikh Abdullah Ibn Abdul Qahhar ini, menyebar sampai ke Mindanao, Filipina. Ulama-ulama Sufi di Filipina abad ke-18, memiliki genalogi Syatariah sampai ke Banten, melalui sanad Syeikh Abdullah Ibn Abdul Qahhar ini.

Bruinessens menyebut bahwa, Syeikh Abdullah Ibn Abdul Qahhar banyak menulis dan menyalin kitab-kitab keilmuan Islam, salah satunya adalah sebuah risalah haji berjudul Risala fi Shurut al hajj, ditulis selama tinggal di Mekkah pada tahun 1748. Di Mekkah, Syeikh Abdullah juga melakukan penyalinan kitab tasawuf karangan Syeikh Abdurrauf Singkil berjudul Bayan Tadjalli. Setelahnya Syeikh Abdullah Ibn Abdul Qahhar kembali ke Banten, lalu dirinya menulis dua kitab penting tentang tasawuf berjudul Mashâhid an nâsik fî maqâmât as sâlik dan kitab Fath al mulûk, juga menerjemahkan kitab Sharabb al âshiqîn karya Syeikh Hamzah al Fansuri ke dalam bahasa Jawa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.