Terapi Psikospiritual Dengan Metode Sufistik

Dalam Tasawuf psikospiritual merupakan hal mendasar yang perlu diarahkan guna mencaai tujuan tindakan kearifan dalam diri seseorang. Dalam kajian sufistik, psikospiritual adalah poin penting yang dalam prakteknya untuk mendekatkan diri kepada Allah, berbagai macam praktik ibadah yang dilakukan oleh para sufi dengan tujuan untuk menghilangkan sifat-sifat buruk dalam dirinya diantaranya ialah taubat, zuhud, sabar, tawakal, dan redha.

Pengertian Psiko Spiritual

Definisi spiritual lebih sulit dibandingkan mendifinisikan agama/religion, para psikolog membuat beberapa definisi spiritual, pada dasarnya spitual mempunyai beberapa arti, diluar dari konsep agama, kita berbicara masalah orang dengan spirit atau menunjukan spirit tingkah laku . kebanyakan spirit selalu dihubungkan sebagai factor kepribadian. Secara pokok spirit merupakan energi baik secara fisik dan psikologi[1]

Menurut kamus Webster (1963) kata spirit berasal dari kata benda bahasa latin ‘Spiritus” yang berarti nafas (breath) dan kata kerja “Spirare” yang berarti bernafas. Melihat asal katanya , untuk hidup adalah untuk bernafas, dan memiliki nafas artinya memiliki spirit. Menjadi spiritual berarti mempunyai ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritual merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai makna hidup dan tujuan hidup. Spiritual merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang.[2]

Dapat ditarik kesimpulan bahwa psikospiritual ini adalah energi atau kekuatan didalam tubuh seseorang baik secara fisik, mental maupun psikologidari kesemuanya sangat berkaitan dengan esensi kejiwaan dan bersifat kerohanian yang didalamnya terdapat suatu kepercayaan supranatural seperti hubungannya kepada Tuhan, psikospiritual mendorong seorang untuk memiliki semangat yang positif dalam menjalankan tujuan dari makna kehidupan yang dijalankannya, hal ini akan dia dapatkan ketika sudah mengalami hubungan baik dengan Tuhan dan dapat mengalami peningkatan kualitas hidup dalam segi spiritual yang nantinya akan termanifestasi kepada peningkatan realitas fisiknya.

Terapi Psikospiritual

Terapi adalah penyembuhan atau pengobatan yang dilakukan seseorang dengan tujuan untuk membantu klien mencapai kesembuhan. Terapi terbagi menjadi dua terapi fisik, dan terapi mental, terapi fisik dilakukan secara bersentuhan langsung dengan klien, sedangkan terapi mental dilakukan dengan komunikasi aktif seperti pada saat melakukan konseling kepada klien. Namun kedua terapi ini dapat dilakukan secara bersamaan bersentuhan dengan memberikan sugesti positif pada klien.

Dalam terapi psikospiritual klien diarahkan untuk menemukan makna dalam tujuan kehidupannya, makna ini berkaitan erat dengan hubungan kerohanian dan ketuhanan. Dalam islam ilmu mengenai kerohanian dan ketuhanan dilakukan menggunakan pendekatan sufistik atau ketasawufan. Suatu bentuk ilmu ketenangan jiwa dalam mencapai hubungan baik dengan Tuhan, kemudian menciptakan suasana batin yang tenang, melahirkan energi spiritual yang teraktualisasikan dalam realitas fisik kehidupan. Terdapat 4 cara untuk mencapai kesehatan mental melalui psikospiritual sufistik yakni :

  1. Taubat

Taubat menurut Ibn al-Qayyimal-Jauziyyah adalah “kembalinya seorang hamba kepada Allah dengan meninggalkanjalan orang-orang yang dimurkai Tuhan dan jalan orang-orang yang tersesat. Diatidak mudah memperolehnya kecuali dengan hidayah Allah agar dia mengikutisirat al-Mustaqim (jalan yang lurus)”.[3] Taubat yang baik adalah taubah yang sungguh-sungguh, mengakui segala kesalahan dan memohon ampun dengan hati yang ikhlas, meyakini bahwa Allah adalah Al-Ghofur(Maha Pengampun), dengan tidak mengulangi perbuatan dosa, seorang terapis mendukung klien dengan mengarahkan proses taubat dengan ibadah yang istiqomah disertai amalan-amalan, secara bertahap akan membawa dirinya pada keadaan yang tenang. Seluruh upaya menuju ketenangan ini adalah proses terapeutik (pengobatan) yang akan membantu membangun kesehatan mental klien.

  • Zuhud

Al-Junaid al-Baghdadi mengatakan : “Zuhud”adalah “ketika tangan tidak memiliki apa-apa pun dan pengosongan hati dari cita-cita”.Di sini seorang sufi tidak memiliki sesuatu yang berharga melainkan Tuhan yangdirasakannya dekat dengan diriya. Sebagaimana juga Yahya ibn Muadz menyatakanbahwa zuhud adalah meninggalkan apa yang mudah ditinggalkan[4].

Makna zuhud disini ialah pengosongan harapan kepada dunia dan merasa tidak memiliki apapun kecuali Allah, dalam hal ini Psikoterapi zuhud membangun konsep takhalli(pengkosongan) artinya menghilangkan sifat-sifat ambisius dan berlebihan, tahalli (pengisian) perawatannya dengan mengubah pola pikir bahwa Allah Maha Kuasa, dilakukan dengan amalan dzikir yang tujuannya adalah mengingat Allah, kemudian tajalli (menghias) merasa bahwa Allah selalu bersamanya. Terapis sebagai motivator membantu klien untuk melancarkan ketiga tahapan zuhud diatas dengan senantiasa membina bahwa hidup ini hendaknya dilakukan dengan sederhana dan tidak berlebihan, dan mengarahkan jikalau semuanya terjadi atas Kekuasaan Allah SWT.

  • Sabar dan, tawakal

Sabar dalam pengertian lughawi (bahasa) adalah“menahan atau bertahan”. Jadi sabar sendiri adalah “menahan diri dari rasa gelisah,cemas dan marah, menahan lidah dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari kekacauan”.[5]Menurut Imam Ahmad ibn Hanbal, perkataan sabar disebut dalamal-Qur’an di tujuh puluh tempat. Menurut ijma’ ulama, sabar ini wajib dan merupakan sebagian dari syukur.[6] Sedangkan Tawakal Sari al-Saqatimengatakan : “Tawakkal adalah pelepasan dari kekuasaan dan kekuatan, tidak ada kekuasaan dan kekuatan apapun melainkan dari Allah semesta Alam.[7]

Sabar disini diartikan sebagai sikap menahan diri dari suatu beban permaslahan yang terjadi dalam diri seorang dengan upaya  menerima keadaan baik aturan, maupun larangan. Sabar yang dilakukan oleh sufi adalah sabar menerima segala perintah dan larangan Allah, kemudian menahan diri dari gemerlap duniawi yang bersifat materi. Kemudian sabar erat kaitannya dengan tawakal yakni meyakini bahwa segala kekuasaan dan kekuatan bersumber pada Allah, dan Allah sebagai pemberi keputusan dan ketetapan yang terbaik. Sabar dan tawakal digunakan terapis sebagai metode pengarahan panduan untuk selalu menerima ketetapan dari Allah SWT, dibarengi sifat sabar dengan menahan diri dari kebencian, iri, dan permusuhan.Dan menyerahkan segala ketentuan berdasarkan takdir dari Allah. Dengan demikian maka harapan terapis ialah seorang klien dapat memahami segala ujian dan permasalahan dalam hidupnya bersumber dari Allah dan dikembalikan kepada Allah pula.

  • Redha

Redha terikat dengan nilai penyerahan diri kepadaTuhan yang bergantung kepada usaha manusia dalam berhubungan denganTuhannya, agar senantiasa dekat dengan Tuhannya. Syeikh Abu Ali al-Daqqaqmenyatakan bahwa seorang sufi tidak merasa terbeban dengan hukum danqadar Allah Ta’ala[8].

Redha adalah rasa atau puncak pencapaian tertinggi dari sabar dan tawakal dimana penyerahan seorang hamba terhadap seluruh ketetapan Allah terealisasikan oleh perilaku yang muncul dalam dirinya perilaku ini meliputi ketenangan menghadapi suatu permasalahan, dan kekhusyuan beribadah.

Pentingnya Terapi Psikospiritual

Dalam penelitian, Comstock, menyatakan bahwa bagi para pasien yang melakukankegiatan keagamaan secara teratur disertai doa dan dzikir, ternyata resiko kematian akibatpenyakit jantung koroner lebih rendah 50%, kematian akibat emphysema lebih rendah56%, kematian akibat cirrhosis hepatis lebih rendah 74% dan kematian akibat bunuh dirilebih rendah 53%.[9]

Pengalaman dari Dr. LeslieWetherhead, juga menunjukkan bukti bahwa terdapat hubungan sebab akibat antarapenyakit jiwa dengan hilangnya makna nilai–nilai keagamaan dari dalam diri manusia. DiFlorida, Amerika Serikat ada sebuah lembaga penelitian tentang penyembuhan penyakitjiwa melalui daya pengaruh bacaan al-Qur‟an dalam berbagai kasus penelitian ataupercobaan yang terdiri dari orang–orang yang mengerti bahasa al-Qur‟an dan yang tidakmengerti makna al-Qur‟an yang harus mendengarkan bacaan al-Qur‟an. Ternyata bagikelompok yang memahami al-Qur‟an dapat memperoleh kesembuhan secara bertahapdan bagi kelompok yang tidak memahami makna al-Qur‟an juga memperolehkesembuhan yang kurang intensif dibandingkan dengan kelompok yang memahami al Qur‟an.[10]

Layanan bimbingan spiritual bagi pasien semakin diakui memiliki peran dan manfaat yang efektifu tidak hanya diartikan sebagai al disin bagi penyembuhan. Bahkan di tangan para perawat rumah sakit yang professional, perawatan spiritual, khususnya bimbingan spiritual memberikan kontribusi bagi proses penyembuhan pasien mencapai 20-25 % (Purwanto, 2007) Dari proses komunikasi yang dibangun oleh para perawat rumah sakit yang profesional para pasien bisa memulihkan kondisi psikologisnya. Peningkatan kualitas sumber daya perawat rumah sakit yang profesional menjadi pilihan mutlak rumah sakit, bahkan harus menjadi bagian dari rencana bisnis rumah sakit yang tidak diabaikan. Namun, pada kenyataanya, masih sedikit perawat rumah sakit terutama rumah sakit Islam yang menyadari arti penting pendekatan komunikasi dan psikologis dalam memberikan bimbingan spiritual kepada pasien (Hawari, 2002)

Terapi psikospiritual sangat diperlukan dalam diri manusia, karena manusia tidak bisa lepas dari unsur supranatural yang bersifat ketuhanan. Spiritual sufistik yang digerakkan oleh kaum sufi dalam islam menjadi metode terapi penyembuhan jiwa melalui tahapan taubat, zuhud, sabar, tawakal, dan redha dimana semua tahapan ditujukan agar manusia mencapai taraf hidup aman dan harmonis dengan tindakan yang arif, menyatu dengan alam dan dekat dengan Tuhan, sehingga melahirkan kekuatan spiritual sufistik yang tinggi.


[1]David Fontana, Religion and spirituality, Bps Blackwell, 2003. Hal. 11

[2]Aliah B., Purwakanta Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, PT Raja Grafindo Persada : Jakarta, hal 288

[3]Ibn Al-Qayyim al-Jauziyyah, Madarij al-Salikin Bain Manazil Iyyaka Na’bud wa Iyyaka

Nasta’in, (Terj. Kathur Sukardi), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), hal. 97

[4]Al-Kalabadzi, Op. Cit., hal.115

[5]Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madarij, Op.Cit., hal.26

[6]ibid, hal 203

[7]Al-Kalabadzi, Op.Cit, hal.125

[8]Imam Al-Qusyairy, Op.Cit.., hal.223

[9]Jurnal Studi Islam dan Humaniora

Volume XIV, Nomor 02, 2016

[10]Abdur Rahman Saleh, Psikologi (Jakarta: Kencana Media Group, 2004), 62–65.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.