Tasawuf Sebagai Landasan Ilmu Pengetahuan

Oleh: Kholili Hasib,M.Ag

(Dosen Pemikiran Islam IAI Darullughah Wadda’wah Bangil)

Pembicaraan ilmu pengetahuan itu biasanya terdiri dari kepercayaan, kebenaran, dan penilaian (Dan O’Brien,An Intruduction to the Theory of Knowledge, (Cambridge-United Kingdom, Polity Press, 2006), hlm. 11). Tiga aspek tersebut membangun suatu kerangka (framework) yang menghasilkan ilmu pengetahuan. Tasawuf sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan dalam Islam memiliki bangunan keilmuan (body of knowledge) dan epistemologi yang khas, yang disebut sufi’s epistemology. Maka, tasawuf pun terdiri dari suatu kepercayaan, kebenaran dan penilaian. Dalam Islam, tasawuf biasanya dikaitkan dengan aspek nilai (value), dan kualitas; yaitu nilai keruhanian dan kualitas keimanan (Mohd Zaidi Ismail & Wan Suhaimi Wan Abdullah, Adab dan Perdaban Karya Pengi’tirafan untuk Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Kuala Lumpur: MPH Publishing, 2012), hlm. 201). Jika kita tempatkan tasawuf sebagai cabang ilmu, maka tasawuf juga terkait dengan ilmu, ma’rifah, amal, dan ibadah. Dengan demikian, tasawuf itu terhubungan dengan unsur-unsur penting dalam agama, yaitu; iman, ruhani, ilmu, amal dan ibadah.

Terkait dengan itu, maka Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas mendefinisikan tasawuf sebagai the practice (a’mal) of the shari’ah at the station (maqam) of excellence (ihsan) (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the Future, (London-New York: Manshe Publishing Limited,1985), hlm.207).  Dengan definisi ini, tasawuf merangkum tiga unsur penting dalam memahami Islam, yaitu; amal, syariah dan ihsan. Syarat seseorang untuk sampai pada tingkat ihsan adalah memiliki ilmu yang berasaskan syuhud (penyaksian langsung) terhadap realitas (hakikat) dan kebenaran (truth). Artinya, pengamalan sufi berdasarkan pada ilmu yang benar dengan kualitas tinggi.

Imam al-Ghozali menjelaskan proses dan prasyarat untuk sampai pada pengetahuan tinggi. Yaitu pertama ilmu mu’amalah kedua ilmu mukasyafah. Pada mukasyafah seseorang sampai pada makam ihsan. Ilmu kedua termasuk ilmu puncak (ghayatul ulum). Sebelum sampai ke puncak harus terlebih dahulu sempurna ilmu mu’amalah. Jenis pertama ini dengan cara pemahaman-pemahaman ilmu secara rasional dan pengalaman empiris dengan disertai riyadhah (olah jiwa). Membersihkan (tazkiyah) jiwa dari sifat buruk, dan menghiasi (tahliyah) jiwa dengan sifat-sifat terpuji.

Tetapi, paling inti dari itu adalah tauhid sebagai central of knowledge. Tauhid para sufi jika merujuk kepada imam al-Ghazali adalah tauhid syuhud. Syaikh Ibnu Athoillah as-Sakandari mengatakan: : “Apakah menurut Anda berakhlak baik itu adalah (hanya) dengan menyapa manusia dengan baik, memulyakan manusia, namun mengabaikan hak-hak Allah?”. Bukan. Akhlak yang baik tidak seperti itu. Akhlak yang baik itu adalah dengan menunaikan hak-hak Allah, menjaga hukum-Nya, tunduk kepada-Nya, serta menjauhi larangan-Nya” (Ibnu ‘Athoillah, Tajul ‘Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus)

Akhlak kepada Allah inilah esensi tauhid. Imam al-Qusyairi, penulis kitab tasawuf al-Risalah al-Qusyairiyah, menjelaskan bahwa, para ulama tasawuf membangun kaidah-kaidah tasawufnya di atas tauhid, menjaga akidahnya dari bid’ah dan mendekat kepada ajaran-ajaran salafus sholih Ahlussunnah wal Jama’ah (Abdul Karim al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, hal. 41).

Menurut seorang ulama sufi, Ahmad bin Muhammad al-Jariry, barang siapa (dari ahli tasawuf) yang tidak berdiri di atas ilmu tauhid dengan dalil-dalilnya, maka ia akan tertipu dalam jurang kesesatan.

Karena itu, para ulama tasawuf sangat berhati-hati dalam mengamalkan syariat. Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, membangun tariqahnya dengan amat ketat. Ia menjadikan akidah tauhid sebagai fase pertama yang harus dibersihkan bagi seorang murid (pengikut tariqah).

Ia mengatakan: “Wajib bagi murid (pengikut tariqah) untuk menjadikan akidah Sunni sebagai ‘sayapnya’ sebagai media dalam bertariqah untuk sampai kepada Allah” (Abdul Qadir al-Jilani, al-Ghunyah II, 163).

Hikmah dan akhlak menurut Imam al-Junaid, pembesar ulama sufi, tidak akan diperoleh tanpa ma’rifah kepada Allah. Ma’rifah (mengenal) Allah yang dimaksud adalah mengamalkan hak-hak yang wajib ditunaikan kepada-Nya (al-Risalah al-Qursyairi, hal. 42). Di sinilah seseorang itu memperoleh ‘cahaya’ ilmu dari Allah Swt.

Bagaimana proses pemerolehan cahaya ilmu Allah itu? Kata Nabi Saw dengan praktik (amal). Yakni mengamalkan ilmu. Sabdanya: “Barangsiapa yang mempraktikkan ilmu yang ia peroleh maka Allah Swt memberinya suatu ilmu yang belum diketahuinya”. Prosesnya dimulai dengan riyadhoh (olah jiwa), dengan memangkas keinginan pokok syahwat. Dalam lelaku tirakat sampai ada pantangan tidak makan kecuali betul-betul lapar, tidak menkonsumsi makanan yang enak. Hingga sampai pada kesimpulan makan hanya nasi putih, minum hanya air putih. Nasi tanpa lauk, sayur, sambal, bumbu-bumbu. Orang jawa menyebut mutih.

Maka, imam al-Ghazali merumuskan adab pelajar pemula yang utama dan pertama sama dengan tirakat, yaitu mensucikan jiwa. Penjelasannya, karena ilmu adalah ibadah hati, atau shalatnya hati. Suatu shalat tidak sah bila anggota badan atau baju ada najis. Begitu pula mencari ilmu tidak sah (tidak akan sukses) jika hati ada najis (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulmuddini 1, hal. 67).

Bahkan dianjurkan meninggalkan keluarga atau tempat tinggalnya. Kesibukan duniawi menurut imam al-Ghazali dapat menjauhkan dari ilmu manfaat. Sementara, berjauhan dengan keluarga atau tempat tinggal supaya seorang tidak mudah hidup enak-enakan. Prosesi ini merupakan kunci keberhasilan seseorang mencari ilmu.

Seyogyanya ilmu tazkiyatu nafs dan ilmu riyadhoh menjadi pelajaran utama dan pertama bagi pelajar pemula. Adab sebelum ilmu. Adabkan jiwa terlebih dahulu, baru kemudian mempelajari perincian cabang-cabang ilmu. Adab dalam penjelasan imam al-Ghazali sesungguhnya pendisplinan jiwa (Imam al-Ghazali, Raudhatu al-Thalibin wa Umdatus Salikin, hal. 10 – 11).

Awal yang baik merupakan pintu akhir yang baik. Pelajaran awal bagi pelajar harusnya memberi penekanan pada ilmu tasawuf ini. Tasawuf untuk anak, dan tawawuf untuk remaja. Tujuan pendidikan melahirkan manusia yang baik. Manusia yang baik lahir dari proses pendidikan yang baik. Adapun pendidikan yang baik bila diawali dengan pendisplinan jiwa yang baik dengan tasawuf ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.