Syams-e Tabriz dan Muasal Putaran Tari Sufi Maulana Rumi

Malam itu, hujan turun membasahi kampung kami. Sejuknya percikan air berjatuhan di emperan Masjid Baitush-Sholihin (Desa Dero_Ngawi), tempat di mana teman-teman Penari Sufi Nusantara wilayah Ngawi Timur berlatih setiap malam jumat. Dengan sedikit rasa kantuk yang menggelayut di mata ini, dan ditemani secangkir kopi pahit,  kami mencoba menelusuri makna filosofis di balik tari sufi yang kita dendangkan bersama setiap minggu tersebut. Kami mulai melacak muasal tari sufi dari sesosok nama besar Maulana Rumi dan sahabat  spiritualnya Syams-e Tabriz. Dimana keduanya sama-sama bersal dari Persia.

Tanah Persia seakan memang tak pernah habis melahirkan master-master sufi yang handal. Satu di antaranya tentu saja Maulana Jalaluddin Rumi, maestro sufi dari kota Balkh. Beliau adalah penyair sufi yang telah merangkai puluhan ribu puisi legendaris yang menyimpan kedalaman makna. Sementara, orang yang paling dikenang dalam memunculkan potensi spiritual Rumi tidak lain adalah Syams-e Tabriz. Berbeda dengan Rumi yang populer, jejak-jejak Syams-e Tabriz tak banyak diketahui.

Syams-e Tabriz, menurut berbagai sumber beliau bersal dari Tabriz, sebuah kota besar di sebelah barat Iran. Sekarang, kota ini dihuni oleh mayoritas suku Azeri yang mirip dengan Turki. Kota ini menjadi tempat persinggahan bagi traveler yang mau melanjutkan perjalanan entah itu ke Turki, Georgia, Armenia, atau Azerbaijan.

Dari Tabriz, Syams melakukan pengembaraan untuk menemukan orang yang tepat untuk meraih cinta. Hingga, suatu ketika ia sampai di tanah Anatolia, Konya dan bertemu dengan orang yang dicarinya, Maulana Rumi.

Syams adalah seorang sufi yang sangat misterius. Ia tak jarang berpenampilan lusuh seperti gelandangan, seperti orang tak berharga. Karena penampilannya, pada awal bertemu, Rumi menganggap ia adalah orang yang tidak terpelajar. Namun, setelah berdiskusi, Rumi menemukan hal spesial dalam diri Syams. Hatinya tersentak dan hanyut dalam alunan mabuk cinta terhadap Allah dengan alunan melodi cinta dari Syams.    

Perjumpaan Rumi dengan Syams menjadi titik balik kehidupan spiritual Rumi yang eksentrik. Ia meninggalkan semua aktifitasnya dan sibuk mereguk anggur cinta yang dituangkan oleh Syams. Keadaan ini menimbulkan kecemburuan dari para murid dan orang-orang dekat Rumi. Mereka berusaha untuk menyingkirkan Syams agar Rumi kembali seperti dulu. Usaha mereka berhasil karena Syams tiba-tiba pergi dari kehidupan Rumi. Akan tetapi, keadaan semakin parah. Rumi seperti seorang pecinta yang kehilangan kekasihnya.

Kesedihan Rumi semakin menjadi. Untuk mengobati rasa rindunya pada sahabat mistisnya tersebut, Rumi menari darwish/tari sufi yang disertai gubahan-gubahan syair mistis cinta yang menakjubkan.

Dalam pusaran tarian sufi yang mengalun ke kiri dengan ritmik semesta tersebut, Rumi mencapai berbagai maqom spiritual yang tinggi dan agung. Dari gerak memutar itulah, ribuan syair-syair Rumi mengalir bak mata air yang tak kenal musim kemarau. Kedalaman puisi-puisinya sampai sekarang belum bisa sepenuhnya diselami oleh penggemar dan pecintanya.

Abah Budi (Tokoh Sentral Tari Sufi Nusantara) dari Semarang pernah menjelaskan kepada kami dalam sebuah obrolan santai di pojok timur Kota Ngawi (Yayasan Raoudlotul Muttaqin-Dero),  bahwa tari Maulana Rumi tersebut bersanad sampai kepada Sayyidina Abu Bakar r.a. di hadapan Rasulullah SAW. Tari tersebut juga menyimpan misteri spiritual yang sangat dalam.

Masih menurut Abah Budi, di dalam alunan putaran tari sufi, terdapat aliran cinta Allah bagi siapa saja yang menghidupkan hatinya saat gerak tari sufi didendangkan. Oleh karenanya, penari sufi menengadahkan tangan kanannya ke langit ketika mereka berputar. Hal tersebut adalah simbol menyambut cinta Allah yang maha tinggi. Tangan kiri penari sufi selanjutnya, mengarah ke bumi untuk mengingatkan maqom manusia yang rendah dan berlumuran dosa. Sehingga dengan rasa tawadhu’, seorang darwis bisa mengantar sowannya ke hadirat Allah dalam alunan gerak tari sema-nya tersebut.

Semoga tulisan singkat di atas bermanfaat, dan kita semua semakin menyentuh cinta Allah dalam pusaran tari sufi kita. Amiin

(Ditulis oleh Saiful Mujab dengan mengambil beberapa sumber tulisan digital dan dipadukan  dengan obrolan bersama sang Guru, Abah Amin Maulana Budi Harjono-Semarang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.