RESENSI BUKU (Mencintai Allah Secara Merdeka)

RESENSI BUKU

Mencintai Allah Secara Merdeka

(Buku Saku Tasawuf Praktis Pejalan Maiyah)

Sebagaimana yang saya tuliskan pada awal tulisan, buku ini berjudul “Mencintai Allah Secara Merdeka”, merupakan buku saku tasawuf praktis pejalan maiyah. Buku ini terbit pada tahun 2020 oleh Penerbit IIMaN. Buku ini ditulis oleh Bapak Dr. Muhammad  Nursamad Kamba, dosen dan pakar tasawuf UIN Sunan Gunung Djati Bandung.  Beliau juga merupakan salah satu Dewan Pakar dalam Konsorsium Kota Terapi (Konsorsium Tasawuf dan Psikoterapi Indonesia). Buku ini merupakan kenangan terakhir beliau sebelum wafat pada awal tahun 2020. Dan insyaallah Allah SWT memerdekakannya, sebagaimana yang ditulis oleh Emha Ainun Najib dalam pengantar buku ini. Beliau adalah Marja’ Maiyah dalam arti yang sesungguhnya. Dalam segala makna dan ilmunya, uswatun hasanah hidupnya, harmoni keluarganya, ketabahan dan kesabaran hatinya, keluasan dan kelembutan jiwanya, keterukuran dan kesantunan sikap sosialnya. Demikian pula dalam hal kedalaman ilmunya.

Buku ini terdiri dari 334 halaman terdiri dari 3 bagian. Bagian kesatu buku ini  menjelaskan hubungan tasawuf dengan kenabian, dimulai dengan ulasan tentang asal usul, berbagai definisi tentang tasawuf, tasawuf falsafi dan tasawuf sunni, dan terakhir eksoterik versus esoterik. Bagian kedua buku ini membahas tentang Sufisme Al-Junaid Al Baghdadi dimulai dengan pembahasan mengenai jalan makrifat, menciptakan keyakinan efektif, merumuskan ulang pengetahuan indrawi, signifikansi pengetahuan empirik menggunakan pengetahuan empirik,  warisan nabi, memurnikan pengetahuan rasional, psikoanalisis penyakit mental, jalan mahabbah, mahabbah dan zikir, zikir dan mahabah dalam tasawuf Al-Makassari, mahabah dan daya juang, sifat-sifat utama yang lahir dalam mahabah, mengintegrasikan maqamat dan ahwal dan terakhir membahas tentang zuhud. Bagian ketiga buku ini membahas tentang jalan kenabian sebagai jalan peradaban, dimulai dengan pembahasan mengenai Maiyah dan jalan kenabian, pembebasan jiwa dari sifat-sifat buruk, mempraktikkan kebijaksanaan, berlaku jujur dalam segala hal, dan terakhir  menyebarkan cinta kasih.

Penjelasan dalam buku ini bersifat sistematis, sehingga memudahkan bagi pembaca untuk mempelajari dan  memahaminya. Penjelasan dimulai dengan sejarah, definisi dan konsep, pandangan tokoh, dan terakhir berisi peneguhan tentang pentingnya Maiyah dan jalan kenabian dalam kehidupan.

Sampai saat ini tasawuf masih sering  dianggap asing oleh kalangan masyarakat bahkan oleh kalangan umat Islam itu sendiri. Meskipun para tokoh tasawuf  telah menegaskan bahwa tasawuf merepresentasikan intisari ajaran Islam.  Al-Thusi dalam kitab Al-Luma  (referensi awal tasawuf)  menjelaskan fenomena  kehidupan sufistik sejak masa rasulullah Saw, sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, hingga generasi sesudahnya. Istilah sufi telah dikenal sejak masa kenabian. Mengapa setelah masa nabi menjadi sesuatu yang asing? Al-Thusi menjelaskan semua itu terjadi karena penamaan sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in menjadi lebih agung.

Sebagai pendahulunya,  para sufi adalah kelompok hunafa yang dikenal pada masa nabi atau awal kelahiran Islam, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. Abd. Halim Mahmud, salah seorang guru besar universitas Al-Azhar Kairo. Kelompok hunafa merupakan sisa-sisa pengikut agama Nabi Ibrahim a.s. Ada 4 nama yang tercatat sebagai hunafa di masa lahirnya Islam, yaitu Zaid ibn Amr ibn Nufail, Waraqah ibn Naufal, Abu Qays ibn Anis, dan Khalid Ibn Sinan. Sayyidah Khadijah yang kemudian hari menjadi istri nabi Muhammad Saw juga disebut sebagai pengikut al hanifiyyah. Tidak mengherankan ketika Nabi Muhammad hendak  berkhalwat ke gua hiro’, beliau mengijinkannya. Dan ketika menerima wahyu pertama, untuk mengatasi kebimbangannya Sayyidah Khadijah membawa Nabi Muhammad ke Waraqah ibn Naufal.

Pengalaman semacam pengalaman sufistik juga telah disebutkan dalam al Qur’an, yaitu tentang “bedah dada”  sebelum Nabi Muhammad mendapatkan wahyu sebanyak 2 kali, yaitu ketika masih kecil dan menjelang isra’ dan mi’raj. Bedah dada  bertujuan untuk membersihkan hati beliau dari kedurhakaan dan kemaksiatan. Analisis sufistik menyebutnya sebagai penyucian jiwa. Dalam konteks pengalaman sufistik penyucian jiwa merupakan tangga menuju fana’ dan makrifat. Melekatnya  pengalaman sufistik  menunjukkan agama yang dibawa Nabi Muhammad  Saw sesungguhnya adalah agama cinta atau agama berdasarkan cinta ilahi. Hal ini ditegaskan nabi dengan sabdanya “aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak mulia dan budi pekerti yang luhur “ (HR Bukhari). Mengapa menyempurnakan budi pekerti yang luhur dengan cinta? Sebab cinta mengantarkan pada makrifat yang merupakan mekanisme transformasi perilaku paling ideal dan terbaik. Sebagaimana dikemukakan oleh Kemal Ga’far bahwa ada 3 orientasi utama dalam tasawuf. Pertama orientasi yang mengaitkan tasawuf dengan akhlak, yang merupakan representasi dasar sufistik Islam. Kedua, orientasi yang mengaitkan tasawuf dengan ibadah ritual. Dan ketiga orientasi yang mengaitkan tasawuf dan makrifat serta ketersingkapan yang memberi perhatian khusus pada aspek psikis dan spirtual.

Menurut Ibnu Khaldun, ada dua perspektif yang harus dibedakan ketika berbicara mengenai tasawuf. Pertama tasawuf sebagai pengalaman atau jalan hidup kebenaran dan hidayah.  Kedua, tasawuf sebagai ilmu. Tasawuf sebagai ilmu  harus merumuskan teori, epistemologi, dan paradigma yang melatari setiap praktik keberagamaan dan ritual-ritual  dalam jalan hidup sufi. Sementara esensi tasawuf sebagai jalan hidup kebenaran dan hidayah yang menjadi totalitas, pengalaman intimasi dengan Tuhan, sama sekali tidak mensyaratkan apa pun yang menyangkut teori, epistemologi dan  paradigma keilmuan. Sebagaimana ditegaskan oleh Al Junaid “ kami tidak mengambil  tasawuf dalam wacana ini dan itu, tapi praktik melaparkan diri, meninggalkan kemegahan dunia, dan memotong hubungan dengan kebiasaan-kebiasaan dan hal-hal yang menggiurkan.” Singkatnya, tasawuf  adalah bahwa “engkau bersama Allah tanpa embel-embel”. Dalam kaitannya dengan tasawuf sebagai ilmu , pendekatan filsafat seringkali digunakan dalam menyelesaikan tugas-tugas keilmuan ini, namun tidak lantas menjadikannya tasawuf falsafi. Sebab baik secara teknis maupun struktur keilmuan, jurang pemisah antara filsafat dan pengalaman tasawuf sangat jauh. Karakteristik filsafat adalah kontemplasi spekulatif, sedangkan tasawuf adalah penghayatan dan pengalaman langsung. Dalam filsafat dikenal adanya intuisi, namun dalam konteks ini individu memiliki kesadaran diri, sedang dalam tasawuf, subjek meniadakan diri.

Makrifat dalam perpektif sufisme bukanlah sekedar taraf pengetahuan yang melengkapi pengalaman indrawi dan pengalaman rasional. Makrifat adalah suatu sistem atau teori yang seluruhnya ditentukan oleh transformasi diri secara total. Idealnya pemikiran manusia itu sejalan dengan petunjuk Tuhan sebagaimana dalam Al qur’an, namun kenyataannya banyak hasil pemikiran manusia tidak sejalan dengan petunjuk Tuhan, dan ini adalah tugas kenabian.

Dalam sistem makrifat, menurut Al-Junaid akal dan pikiran harus dibebaskan dan dibersihkan dari hasrat-hasrat dan nafsu yang mengajak kepada kejahatan, agar dapat menangkap sentuhan ilahi atau getaran batin yang ditimbulkan oleh al-luthf al-ilahi. Ibarat getaran yang ditimbulkan oleh jatuhnya butiran-butiran hujan ke bumi, lantas menumbuhkan tanaman-tanaman yang subur. Lebih jauh Al-Junaid menjelaskan bahwa makrifat dibagi dalam dua jalur. Jalur ta’ aruf dan ta’rif. Jalur ta’aruf, Tuhan memperkenalkan DiriNya langsung kepada hamba sementara jalur ta’rif  Allah memperlihatkan tanda-tanda keagungan dan kehebatan-nya pada alam sekitar dan di dalam jiwa-jiwa mereka, kemudian Allah menumbuhkan luthf yang membuat mereka menyadari bahwa segala sesuatu pasti ada yang menciptakannya. Tuhan adalah Al-Haqq, sang mutlak, yang tidak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Tuhan tidak dapat dipersepsi dan tidak pula dapat dikonsepkan di luar dari objek-objek yang dapat direkayasa oleh pikiran untuk menjadi pencapaiannya. Ketika logika diterapkan dalam konteks Al Quran maka yang terjadi adalah hanyalah narasi-narasi berupa dugaan-dugaan tentang Tuhan, demikian pula pengetahuan agama hanyalah sekedar narasi-narasi, sehingga tokoh agama bukanlah contoh yang mengikuti keteladanan rasulullah, melainkan hanyalah orang yang memiliki informasi keagamaan, meski ia sendiri tidak mengerti informasi yang ditumpuknya. Selain pandangannya tentang makrifat Al Junaid juga menaruh perhatian yang besar dalam kaitannya dengan mahabbah dan zuhud.

Dalam sufisme meneladani rasulullah merupakan hal yang pokok dan penting, termasuk keteladan dalam membangun peradaban. Nabi Muhammad mengurai prestasi yang gemilang dalam membangun peradaban di Madinah. Apakah itu karena posisinya sebagai nabi?  Tidak. Sejak awal Tuhan menegaskan bahwa Muhammad adalah  manusia biasa yang diutus untuk diteladani (QS Al Ahzab : 21). Dalam buku ini, Nabi Muhammad berhasil membangun peradaban di madinah karena personality yang dimilikinya. Nabi Muhammad memiliki pribadi yang mandiri, memiliki kedaulatan diri, bebas dari sifat-sifat yang buruk, jujur, dan bijaksana.

Demikianlah sedikit gambaran tentang isi dari buku ‘Mencintai Allah secara Merdeka.” Buku ini sangat cocok dibaca oleh mahasiswa tasawuf dan psikoterapi sebagai pegangan dasar dalam belajar mengenai tasawuf. Buku ini juga sangat cocok dibaca oleh jamaah maiyah dan pejalan kenabian, serta umat islam semua yang tertarik untuk mempelajari tasawuf. Mohon maaf bila ada salah. Terima kasih.

Penulis : Yuli Darwati,M.Si

KaProdi Tasawuf dan Psikoterapi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.