Menepis Derita Menggapai Bahagia di Tengah Wabah Covid-19

Pada saat ini, kita semua tengah berduka  akibat pandemi global covid-19.  Ya..pandemi global, dengan demikian tidak hanya kita penduduk Indonesia yang merasakan, tetapi juga penduduk  dunia  Kita ketahui  bahwa pandemi virus ini berasal dari Wuhan dan kemudian menyebar ke negara-negara lain, melalui penularan dari orang ke orang. Salah satu negara yang terdampak dari pandemi ini adalah Indonesia.

Di Indonesia, penyebaran covid-19 dapat dikatakan cepat, sejak ditemukannya kasus pertama pada tanggal 2 Maret 2020. Penyebaran yang cepat nampak di beberapa kota  besar di tanah air, seperti Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya,  Bandung, dan Surabaya. Namun demikian semua provinsi saat ini telah menjadi zona merah, yang artinya terdapat kasus positif covid-19. Update covid-19 per tanggal 22 April 2020 telah tercatat 7.418 kasus positif covid-19 di Indonesia, dengan kasus terbesar Jakarta, disusul Jawa Barat, dan Jawa Timur pada urutan ketiga.

Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk menekan laju penyebaran covid-19 di Indonesia. Kebijakan itu antara lain anjuran untuk stay  at home, himbauan untu menerapkan  pola hidup bersih dan sehat,   bekerja dan belajar dari rumah, serta pembatasan sosial berskala besar atau yang disingkat dengan PSBB.  Namun demikian jumlah kasus positif covid-19 senantiasa mengalami peningkatan.

Di era globalisasi informasi dan teknologi  saat ini, kita dapat dengan mudah mengakses berita-berita terkait  dengan kasus covid-19. Update data per hari baik yang positif, ODP, dan PDP dapat kita ketahui  mulai televisi, radio, internet, dan media sosial lainnya. Kita pun dapat memperoleh informasi dengan mudah berapa jumlah kasus positif covid-19 yang meninggal, ataupun yang sembuh setiap hari. Kemudahan akses informasi terkait covid-19 meningkatkan kewaspadaan dan pencegahan, namun di sisi yang lain banyak menimbulkan ketakutan dan kecemasan pada sebagian masyarakat Indonesia. Pengalaman klinis pada klien konseling psikosufistik.  menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara wabah covid-19 dengan ketakutan dan kecemasan. Beberapa kien mengaku bahwa mereka mengaku bingung, takut, dan cemas di tengah wabah covid-19 ini. Beberapa klien juga menceritakan bahwa mereka sulit tidur di malam hari selama wabah ini. Apalagi mereka tinggal di daerah zona merah dengan jumlah positif covid-19 tinggi.

Tentu saja ini adalah keprihatinan kita bersama. Sebagai insan akademik di bidang tasawuf dan psikoterapi , kita merasa tergelitik untuk melakukan kajian sekaligus action  atau terlibat langsung dalam pencegahan covid-19 berikut pengaruhnya kepada masyarakat utamanya terkait dengan kesehatan mental. Kecemasan dan ketakutan tidak hanya mengganggu kesehatan mental, tetapi juga pada kesehatan fisik, karena menurunkan imunitas. Oleh karena itu, kita harus berupaya agar masyarakat tetap bahagia di tengah wabah covid-19.

Pertanyaannya adalah bagaimana kita dapat tetap bahagia di tengah wabah covid-19? Sebagai seorang muslim, jawaban itu tentunya dapat kita temukan dalam Al Qur’an. Jika kita kaji dengan seksama  di dalam Al Qur’an bahwa tujuan akhir dari perintah Allah SWT adalah agar kita bahagia. Misalnya , Bertaqwalah kepada Allah agar kalian berbahagia (QS 2:189). Dalam surah yang lain Allah memerintahkan  kita untuk bersabar dan saling menyabarkan, serta perkuat persaatuan agar bahagia (QS 3:200).

Kebahagian menurut Al Qur’an tidak hanya sekedar tujuan akhir dari perintahNya, akan tetapi juga memerinci perbuatan apa saja yang membawa kita pada kebahagiaan (Jalaluddin Rahmad, 2010:21). Mengutip tulisan Jalaluddin Rahmad (2010: 29), kita dapat memperoleh kebahagiaan , ketika kita memahami dan meyakini bahwa bersama kesulitan ada kemudahan, seperti tertuang dalam Al Qur’an surah al Insyirah ayat 1-8. Kesulitan itu tidak berdiri sendiri. Ia selalu  berdampingan dengan kemudahan. Namun, kebanyakan dari manusia jika mendapat kesulitan seperti sekarang ini, kita cenderung untuk fokus pada kesulitan yang kita hadapi. Lebih dari itu banyak orang merasa hidup menderita, bahkan paling menderita di dunia ini. Kita lupa bersama dengan kesulitan itu Allah memberikan kemudahan-kemudahan, bahkan kebagiaan atau pun memberikan nikmat-nikmat yang lain yang tak ternilai harganya.  Bersama dengan kesulitan ada hikmah. Stay at home bagi kebanyakan orang adalah membosankan bahkan penderitaan. Kebersamaan teman tak lagi didapatkan, walaupun kita sebenarnya dapat merangkai atau menciptakan kebahagiaan itu di rumah.  Bukankah rumahku adalah surgaku? Bahagia itu tidak harus dalam keramaian. Bahagia itu sederhana. Bahagia itu jika bisa bercengkrama dengan keluarga. Bahagia itu ketika bisa beribadah bersama keluarga dsb.

Untuk menggapai bahagia yang kedua,  Allah memberikan resep : mensyukuri musibah (Jalaluddin Rahmat ,2010 : 51). Anggap saja wabah ini sebagai musibah. Mungkin pertanyaannya adalah bagaimana caranya bersyukur saat ditimpa musibah? Kita dapat bersyukur dengan melihat kebaikan-kebaikan atau sisi-sisi positif dari musibah itu. Kita bisa memetik pelajaran atau hikmah dari wabah ini. Misalnya lebih banyak waktu untuk keluarga, banyak bersabar, lebih memperhatikan pola hidup bersih dan sehat, lebih hati-hati dan waspada , lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dan sebagainya.

Ketiga, adalah mengubah sudut pandang. Mengapa kita harus mengubah sudut pandang?  Mengubah sudut pandang adalah bagian ikhtiar yang kita lakukan  untuk memperoleh kebahagian, sementara kita  berada di dalam kesulitan. Firman Allah dalam surat Ar Ra’d: 11-12, menjelaskan bahwa  Allah tidak akan mengubah suatu keadaan suatu kaum sampai mereka mau memulai sendiri perubahan itu.  Dari ayat tersebut terdapat pesan bahwa kerja keras  dan optimisme memiliki peranan penting di dalam kehidupan. Musibah adalah sebuah keniscayaan. Jika Allah berkehendak, tak ada seorang pun dapat menghindar, maka ubahlah  sudut pandang anda sendiri, agar musibah tidak menjadi derita.  Ibarat orang memotret, jika objek dilihat dari satu sisi tidak bagus, maka coba fokus dari arah yang berbeda yang nampak lebih indah.  Dalam konteks ini  lebih baik kita fokus pada solusi dan hikmah daripada kita fokus pada bahaya dari virus itu sendiri. Semoga bermanfaat.

By : Yuli Darwati, M.Si, KaProdi Tasawuf dan Psikoterapi  FUDA IAIN Kediri

Konselor psikosufistik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.